Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Garis Sempadan Bangunan (GSB)

Garis Sempadan Bangunan (“GSB”) sebagaimana dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunandan Lingkunganbagian III huruf C merupakan aturan yang harus dikeluarkan oleh Penguasa Wilayah (Gubernur/Bupati/Walikota) dan wajib dipatuhi oleh segenap komponen masyarakat sesuai dengan visi pembangunan di wilayah tersebut.




GSB dan Garis Sempadan Jalan (“GSJ”) adalah peraturan yang diberlakukan dalam Rencana Detail Tata Ruang Kota (“RDTRK”) untuk wilayah yang diatur. Jadi, bisa saja ketentuan tersebut berbeda-beda masing-masing wilayah bergantung dari RDTRK yang mengaturnya. GSB adalah batas yang mana bangunan bisa dibangun secara masif. Di luar batas GSB hanya boleh dilewati oleh bagian dari bangunan yang terbuka seperti taman, teras, balkon dan sejenisnya.

Artikel Terkait

GSB ditentukan oleh Pemerintah setempat berdasarkan RDRTK yang bersumber pada Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi. Dalam hal ini developer hanya mewakili pemerintah saja dalam menjalankan peraturan. Adalah benar, sesuai Hukum Agraria maka Bapak adalah pemilik sah dari tanah/kavling Bapak sehingga dalam membangun suatu bangunan dapat sesuai dengan yang Bapak inginkan. Akan tetapi, Bapak tetap harus tunduk kepada peraturan pemerintah yang berlaku, karena di dalam tanah Bapak juga ada kepentingan masyarakat dan kepentingan Bapak sendiri seperti untuk resapan air sebagaimana aturan Koefisien Dasar Bangunan (“KDB”) dan Koefisien Lantai Bangunan (“KLB”) pada wilayah tersebut.


Adapun karena Bapak tidak menyertakan data tambahan dari bangunan Bapak, maka kami tidak dapat berkomentar lebih rinci mengenai hal ini, disebabkan ada beberapa faktor teknis yang menentukan agar kami dapat memberikan saran yang lebih baik semisal:

1.      Tipe pengembang hunian bapak. Dari nama atau desain rumahnya kita bisa mengetahui konsep pengembangan dari perumahan tersebut. Untuk konsep hunian Green Village, biasanya hanya boleh dibangun sekitar 30-40% (tiga puluh sampai empat puluh persen) dari lahan pemilik. Sisanya dipakai untuk penghijauan;

2.      Data besaran KLB dan KDB dari pengembang. Mengapa data ini kami perlukan? Karena dari sini bisa ditentukan berapa luas tanah yang boleh dibangun oleh Bapak. Contoh misalnya, KDB ditentukan sebesar 70% (tujuh puluh persen) dan bapak mempunyai tanah seluas 500m2 (lima ratus meter persegi), maka lahan yang dapat Bapak bangun adalah 350m2 (tiga ratus lima puluh meter persegi) saja;

3.      Umumnya GSB tersebut jaraknya setengah dari lebar jalan (setengah dari jarak GSJ ke GSJ), jadi kemungkinan Bapak masih bisa membangun antara 1,5 – 2 (satu setengah hingga dua) meter untuk pengembangan ruangan yang Bapak rencanakan (namun kembali hal tersebut merujuk pada ketentuan aturan setempat yang berlaku);

4.      Dan sebagainya.


Khusus untuk peraturan yang bapak keluhkan, lebih baik dicek dulu di Suku Dinas (Sudin) Tata kota setempat mengenai jarak dari GSB tersebut untuk memperoleh kepastian hukum terlebih dahulu. Sebagai contoh, pada Perda Kota Semarang No. 11/2004 tentang RDRTK untuk Bagian Wilayah Kota VI (Kec. Tembalang) berlaku dari tahun 2004-2010 ditetapkan pada Pasal 39, GSB untuk samping dan belakang rumah bila berbatasan dengan persil tetangga boleh berhimpitan atau jika berjarak minimal 1,5 (satu setengah) meter (untuk kecamatan Gunung Pati pada pasal 41, Perda No. 13/2004).


Setelah mendapatkan kepastian tentang jarak dari GSB yang ditetapkan oleh pemerintah setempat, silahkan dikaji kembali apakah yang tertulis dalam Perjanjian antara Bapak dan Developer mencantumkan GSB yang sesuai dengan GSB yang diatur oleh Sudin Tata Kota. Seandainya tidak sesuai maka Bapak dapat berargumentasi kepada Pihak Pengembang sesuai dengan kontrak yang Bapak tanda tangani bersama dengan Pengembang, apabila ternyata aturan mengenai GSB dari Sudin Tata Kota setempat lebih kecil dari yang dilarang oleh Pengembang.


Mengenai hal peraturan tersebut yang menyebabkan kerugian pada Bapak, maka Bapak dapat mengajukan judicial review ke MA namun dengan syarat bahwa umur dari peraturan tersebut kurang dari 180 (seratus delapan puluh) hari sejak diundangkan.

Sumber : Hukum Online