Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Dipacu Untuk Diprioritaskan Pemerintah

Penanganan para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) sudah seharusnya menjadi salah satu program prioritas pemerintah. Hal ini sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

Dalam UU tersebut dijabarkan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Sementara dalam faktanya, masih begitu banyak masyarakat di Indonesia yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga untuk mencapai hidup layak sangat susah. Karena itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan langkah-langkah rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial bagi para PMKS.

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup; memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian; meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial; meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; dan meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Mengacu pada peraturan di atas, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten terus menggalang kekuatan untuk menangani PMKS. Sasaran atau objek dari program penyelenggaraan kesejahteraan sosial ini yakni perseorangan, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat.

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial yakni kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana, korban tindakan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

Berdasarkan data yang diterima SP, sedikitnya ada 26 kategori atau jenis PMKS yang ada di wilayah Provinsi Banten yang tercatat pada tahun 2014 lalu yakni fakir miskin sebanyak 136.924 jiwa, perempuan rawan sosial ekonomi sebanyak 36.577 orang, komunitas masyarakat terpencil sebanyak 4.901 jiwa, keluarga bermasalah sosial psikologis sebanyak 2.683 keluarga, anak balita terlantar sebanyak 1.152 orang, anak terlantar sebanyak 8.339 orang, anak yang memerlukan perlindungan khusus sebanyak 366 orang, anak yang berhadapan dengan hukum sebanyak 374 orang, anak jalanan sebanyak 889 orang, anak dengan kedisabilitasan sebanyak 4.721 orang, anak yang menjadi korban tindak kekerasan sebanyak 118 orang, lanjut usia terlantar sebanyak 33.796 orang, gelandangan 420 orang, pengemis sebanyak 696 orang, pemulung sebanyak 2.350 orang, bekas warga binaan lembaga permasyarakatan sebanyak 1.756 orang, korban penyalahgunaan Napza sebanyak 985 orang, tuna susila sebanyak 942 orang, orang dengan HIV/AIDS sebanyak 244 orang, kelompok minoritas sebanyak 197 orang, penyandang disabilitas sebanyak 17.762 orang, korban tindak kekerasan sebanyak 2.442 orang, pekerja migran bermasalah sosial sebanyak 1.307 orang, korban trafficking sebanyak 96 orang, korban bencana alam sebanyak 51.355 orang dan korban bencana sosial sebanyak 1.979 orang.

Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Banten Nandy S Mulya belum lama ini menjelaskan, untuk menangani PMKS yang ada, perlu adanya sinergitas antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.

Nandy menjelaskan, untuk mendata PMKS termasuk di dalamnya data kemiskinan, Pemprov Banten pada tahun 2015 menggelontorkan anggaran sebesar Rp 3,97 miliar. Data PMKS tersebut diambil dari Badan Pusat Statistik Provinsi Banten yang melakukan sensus khusus Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2015.

“Pada tahun 2015, sensus PPLS berbasiskan bottom up. Kami melibatkan sumber data responden dari masyarakat tingkat RT,” ujar Kepala BPS Provinsi Banten Syech Suhaimi belum lama ini.

Menurut Nandy, pendataan calon penerima bantuan program jaminan sosial atau PMKS harus melibatkan unsur aparatur desa dan tokoh masyarakat desa. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir kesalahan pendataan dan kecemburuan sosial. Selama ini, proses pendataan PMKS by name by adress kadang masih menuai konflik di masyarakat. Hal ini lantaran, pada saat pendataan, tidak sepenuhnya aparatur desa dan tokoh masyarakat dilibatkan.

Untuk menangani PMKS, Pemprov Banten menggunakan program unggulan Jaminan Sosial Rakyat Banten Bersatu (Jamsosratu) dan Program Keluarga Harapan (PKH) dari pemerintah pusat. Untuk melaksanakan program diperlukan perhatian bersama, baik dari Dinsos kabupaten/Kota, Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS), tenaga pendamping, dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK).

Nandy menjelaskan, bagi PMKS, persoalan yang mendasar adalah tidak terpenuhinya pelayanan sosial dasar seperti kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, papan, dan kebutuhan dasar lainnya. Selain itu, belum ada sistem perlindungan dan jaminan sosial yang terintegrasi untuk melindungi dan memberikan jaminan sosial bagi seluruh penduduk terutama penduduk yang miskin dan rentan.

Peran PSKS seperti TKSK, karang taruna, tenaga pendamping Jamsosratu, tenaga PKH, mempunyai kontribusi besar dalam pelaksanaan program kesejahteraan sosial, baik program pemerintah pusat maupun program daerah seperti Jamsosratu.
Karena itu, Pemprov Banten menganggarkan insentif untuk TKSK sebesar Rp 1 juta per bulan serta dana operasional sebesar Rp 1 juta per tahun. Untuk pendamping Jamsosratu dialokasikan anggaran sebesar Rp1,5 juta per bulan dan biaya operasional sebesar Rp 2 juta per tahun. Sementara untuk pendamping PKH, selain mendapatkan operasional dari Kementerian Sosial sebesar Rp 1,5 juta per tahun, Pemprov Banten juga mengalokasikan bantuan anggaran operasional sebesar Rp 2 juta per tahun.

Nandy mengungkapkan, pada tahun 2015, bantuan sosial yang dianggarkan Pemprov Banten untuk PMKS yakni bantuan untuk rumah tangga sangat miskin (RTSM) sebanyak 49.000 keluarga melalui program Jamsosratu. RTSM sebanyak itu tersebar di 8 kabupaten/kota yang ada di Banten.

Bukan hanya itu, jaminan sosial usia lanjut sebanyak 2.440 orang, pemenuhan kebutuhan dasar anak sebanyak 1.000 orang, jaminan sosial dengan kecacatan sebanyak 400 orang, rumah tidak layak huni (RTLH) yang dianggarkan dari APBN sebanyak 850 rumah, kelompok usaha bersama (Kube) PKH sebanyak 30 kelompok dan panti rehabilitasi sebanyak 8 orang.

“Program bantuan RTSM misalnya bersifat pemberdayaan sampai benar-benar keluarga tersebut mandiri. Jadi bantuan yang diberikan tidak bersifat instan, tetapi memberdayakan keluarga miskin untuk bisa mandiri sehingga bisa keluar dari masalah kemiskinan,” jelas Nandy.

Menurut Nandy, penanganan PMKS harus benar-benar menjadi salah satu program prioritas pemerintah bekerjasama dengan dunia usaha dan masyarakat. Sebab, jika tidak ditangani secara serius, persoalan kemiskinan akan tetap ada. Para PMKS harus diberdayakan dan dilatih untuk bisa hidup mandiri secara ekonomi.

“Pemprov Banten sendiri melalui Dinsos, terus berkomitmen untuk menangani dan mengatasi PMKS di Banten. Sudah ribuan RTSM di Banten yang telah mandiri secara ekonomi berkat program unggulan Jamsosratu. Kami berharap, program penanganan PMKS ini menjadi komitmen bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta dunia usaha dan masyarakat,” ujar Nandy.

Sumber: Suara Pembaruan