Rintihan Balita Terlantar - BAHAN MAKALAH

Kisah Soni dan Marcell banyak kita temui di sekitar kita. Sebagai anak terlantar, mereka mengalami hambatan untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana anak-anak lainnya. Anak-anak terlantar banyak menghabiskan hidupnya di jalanan. Sebagian besar mereka menjadi pemulung, pengemis, pengamen maupun penjual koran. Waktu belajar, mengenyam pendidikan, istirahat dan bersosialisasi (bermain) sebagai hak dasarnya lepas dari dirinya.


Artikel tentang Anak Balita Terlantar ini ditulis Oleh Susianah Affandy Ketua Bidang Sosial, Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga Kongres Wanita Indonesia (KOWANI)


Masih ingatkah kita dengan Soni (15 tahun) yang hidup terlantar bersama adiknya Marcell (3 tahun) di Kota Tangerang? Dua anak terlantar tersebut tinggal di sebuah rumah yang tidak layak huni, kumuh, kotor, tanpa lampu dan juga tidak ada air. Mereka hidup bersama dengan bibinya yang mengalami gangguan jiwa.

Soal kedua orang tuanya, ayah Soni meninggal dunia dua tahun silam sedangkan Ibunya menikah lagi dan meninggalkan Soni dan Marcell. Soni drop out saat sekolah kelas 2 SMP. Ia bekerja dengan seorang pedagang nasi goreng pada waktu sore sampai malam hari. Atas kerjanya ia mendapat upah Rp. 10 ribu/hari dan sebungkus nasi yang ia makan bersama sang adik.

Perihal adiknya sendiri, Marcell, sebagai anak yang tanpa pengasuhan, ia tidak tumbuh sebagaimana mestinya. Ketika penulis mengunjunginya di Rumah Singgah, kondisi Marcell dapat dibilang memprihatinkan. Marcel belum bisa bicara. Ia tidak bisa  berdiri dan berjalan. Ia hanya bisa duduk dan ngesot. Belajar dari kasus Soni dan Marcell, tulisan ini ingin mendiskusikan penyebab (mengapa) anak (menjadi) terlantar?

Kondisi Anak Terlantar


Kisah Soni dan Marcell banyak kita temui di sekitar kita. Sebagai anak terlantar, mereka mengalami hambatan untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana anak-anak lainnya. Anak-anak terlantar banyak menghabiskan hidupnya di jalanan. Sebagian besar mereka menjadi pemulung, pengemis, pengamen maupun penjual koran. Waktu belajar, mengenyam pendidikan, istirahat dan bersosialisasi (bermain) sebagai hak dasarnya lepas dari dirinya.

Di ruang-ruang yang rentan dengan tindak kekerasan seperti pasar, terminal, rel-rel kereta api dan perempatan lampu merah kerap kita temui anak-anak terlantar melakoni kehidupannya. Miris pemandangan mata menyaksikan anak-anak Balita digendong-gendong ke sana-kemari dalam kegiatan mengemis orang dewasa. Dibutuhkan penelitian khusus untuk memastikan siapakah anak-anak Balita tersebut? Dan mengapa anak Balita ini “diam saja”, nyaris tidak pernah menangis selama aksi mengemis yang dilakukan oleh orang yang menggendongnya?

Lingkungan di mana anak-anak terlantar ini tinggal sangatlah jauh dari jaminan perlindungan. Dalam perbincangan penulis dengan anak-anak yang alami ”broken home”, mereka berkisah tiap hari mereka lalui bersama teman-temannya. Mereka merokok, mengkonsumsi dan kecanduan Narkoba serta free sex. Anak-anak terlantar yang banyak tinggal di jalanan ini menemukan saudara senasib meski tanpa mereka sadari masa depannya sangatlah suram oleh perilaku yang membahayakan dan tanpa perlindungan tersebut.

Tiga Faktor


Anak yang tidak terpenuhi haknya dalam pandangan penulis disebabkan (salah satu atau lebih) dari tiga factor antara lain, pertama factor kemiskinan. Anak-anak yang terlahir dari keluarga dan lingkungan kemiskinan menjadikan mereka rentan dengan ketelantaran. Ketelantaran anak dalam keluarga miskin yang paling menyolok adalah asupan gizi sejak dalam kandungan. Kondisi keterbatasan secara ekonomi menyebabkan keluarga kesulitan akses gizi seimbang bagi anak. Akibatnya, anak-anak yang terlahir dalam kemiskinan ini mereka rentan sakit sehingga terhambat pertumbuhan dan perkembangannya.

Kemiskinan juga menjadi penyebab banyak keluarga miskin tak hanya menelantarkan anak-anaknya, namun juga meng-eksploitasi secara ekonomi. Anak-anak yang harusnya mengenyam pendidikan, di usia yang masih dini harus bekerja membantu orang tuanya. Beragam pekerjaan dilakoni anak-anak ini mulai dari mengemis, pemulung sampai menjadi pekerja rumah tangga.

Faktor kedua, tidak berfungsinya keluarga. Dalam kasus yang menimpa Soni dan Marcel di Kota Tangerang, mereka menjadi terlantar karena tidak berfungsinya keluarga. Marcell yang masih usia Balita, yang harusnya mendapat pengasuhan dari keluarga namun ia terlantar oleh sebab tidak hadirnya keluarga baik secara fisik maupun secara psikis. Marcell hidup sebatangkara bersama kakaknya Soni.

Keluarga menempati posisi dan peran strategis dalam perlindungan anak. Semua agama mengajarkan bagaimana pentingnya peran keluarga sebagai sekolah kehidupan bagi anak. Anak-anak sejak lahir (bahkan sejak dalam kandungan) mendapat stimulasi (baik itu positif maupun negative) dari keluarganya. Sosialisasi baik-buruk, nilai-nilai, budaya, karakter dan sebagainya dimulai dari keluarga. Anak dalam bahasa agama ibarat kertas putih, maka orang tua dan keluargalah yang memiliki andil besar memberi warna apa atau gambar apa di atar kertas putih tersebut.

Keluarga menurut BKKBN (1992) memiliki delapan fungsi. Ke delapan fungsi tersebut antara lain, pertama fungsi keagamaan. Nilai-nilai agama di kenal oleh anak dari keluarga. Kedua, fungsi sosial-budaya. Anak sejak dilahirkan telah dikenalkan tentang norma dan budaya, termasuk dalam hal ini anak mengenal peran gender dari keluarga. Ketiga, fungsi cinta kasih. Keluarga adalah tempat pertama anak mengenal cinta kasih dan perlindungan. Keempat, fungsi melindungi. Fungsi ini harusnya menjadikan anak merasa aman dan nyaman karena ia mendapat perlindungan. Kelima, fungsi reproduksi.

Keluarga dibangun untuk menjalankan fungsi reproduksi dalam rangka melanjutkan keturunan yang baik. Keenam, fungsi sosialisasi dan pendidikan. Keluarga adalah sekolah pertama yang mendidik anak-anak dengan ilmu pengetahuan tentang kehidupan. Ketujuh, fungsi ekonomi. Dalam banyak kasus, ketika fungsi ekonomi tidak berjalan sebagaimana mestinya, keluarga mengalami disharmoni. Artinya tujuh fungsi lainnya dalam keluarga sulit dijalankan manakala fungsi ekonomi tidak berjalan. Dan terakhir kedelapan, fungsi pembinaan lingkungan. Agama mengajarkan agar manusia menjaga lingkungannya. Hubungan yang baik dengan lingkungan sangat menentukan kualitas hidup manusia di muka bumi ini.

Tidak berfungsinya keluarga dalam kehidupan anak dapat disebabkan oleh banyak factor-faktor pendukung. Anak-anak yang hidupnya di jalanan, secara garis besar disebabkan oleh karena kemiskinan dan broken home. Istilah “broken home” yang kerap kita gunakan menunjuk pada rusaknya fungsi keluarga khususnya dalam memberikan kenyamanan, keamanan serta jaminan perlindungan bagi anak.

Factor ketiga, implementasi teknis dalam perlindungan anak. Penyebab anak mengalami ketelantaran dapat dilihat dari sisi system dan regulasi terkait dengan perlindungan anak. Secara normative dan konstitusi, perlindungan anak sudah mendapat perhatian Pemerintah dengan terbitnya banyak Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. UU yang mengatur tentang perlindungan anak antara lain UU 23/2002, UU No 52/2009, UU No 36/2009, UU 11/2012, UU No 24/2013, UU No 35/2014 dan masih banyak lainnya. Bagaimana implementasi secara teknis dari regulasi yang ada di Republik ini? Inilah masalahnya.

Masalah perlindungan anak yang dapat dicontohkan di sini adalah soal hak atas catatan kependudukan. Anak-anak di komunitas terpencil nun jauh di sana masih banyak yang mengalami kesulitan dalam mengakses “akte lahir”. Penyebabnya beragam, yang paling mencolok adalah soal tradisi masyarakat yang masih enggan mencatatkan pernikahan. Catatan pernikahan berdampak pada sulitnya akses akte lahir bagi anak. Dampak yang diperoleh anak dengan tidak adanya akte lahir adalah tidak adanya perlindungan bagi anak tersebut. Anak yang tidak punya akta lahir secara otomatis sulit mendapatkan jaminan sosial berupa jaminan atas kesehatan, pendidikan dan kehidupan yang layak.

Perlindungan anak di Indonesia mengalami kendala bukan disebabkan oleh tidak adanya aturan atau regulasi namun implementasi teknis dari regulasi yang ada. Kondisi seperti ini sama dengan permasalahan pengentasan kemiskinan. Sebagai contoh, penduduk miskin yang memperoleh bantuan (biaya pendirian) bagi rumah tidak layak huni adalah tersedianya tanah milik si miskin yang dibuktikan dengan surat kepemilikan yang sah. Pertanyaan besarnya, bagaimana si miskin bisa punya tanah sedangkan mereka hidupnya (memang) miskin? Mengakhiri tulisan ini, soal perlindungan anak terlantar konstitusi kita sudah tegas hal tersebut adalah tanggung jawab negara sebagaimana tertuang pada pasal 34 ayat 1 UUD 1945. Akankah implementasi perlindungan anak terlantar terkendala hal teknis?

Pengertian Anak Balita Terlantar

Adalah Anak yang karena sebab tertentu, orang tuanya tidak dapat melakukan kewajibannya, sehingga terganggu kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangannya baik secara jasmani, rohani maupun sosial

Anak Balita Terlantar (ABT) adalah seorang anak usia 5 (lima) tahun kebawah, diterlantarkan orang tuanya dan/atau berada pada keluarga tidak mampu, atau tinggal dalam keluarga yang tidak memberikan pengasuhan, perawatan, pembinaan dan perlindungan bagi anak sehingga hak-hak dasarnya tidak terpenuhi. Balita yang diekploitasi atau digunakan untuk tujuan tertentu.

Kriteria baku Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial kategori Anak Balita Terlantar (ABT)


  1. Terlantar tanpa asuhan layak
  2. Berasal dsari keluarga miskin atau sangat miskin
  3. Kehilangan hak asuh dari orang tua atau keluarga
  4. Mengalami perlakuan salah dsan diterlantarkan oleh orangtua atau keluarga
  5. Dieksploitasi secara ekonomi seperti anak balita yang disalahgunakan orang tua untuk turut mengemis
  6. Menderita gizi buruk atau kekurangan gizi

CIRI-CIRI BALITA TERLANTAR

  1. Usia 0 < 5 tahun
  2. Orang tuanya miskin/tidak mampu
  3. Salah seorang dari orang tuanya/kedua-duanya sakit
  4. Salah seorang/kedua-duanya meninggal
  5. Ditinggalkan di rumah sakit/di rumah bersalin
  6. Mengalami kekurangan gizi